Orang Tuli : Komunikasi dan Permasalahannya

Komunikasi merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia. Dengan adanya komunikasi, seseorang dapat secara mudah memberikan, dan saling bertukar informasi. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya jika seseorang tidak berkomunikasi dalam satu hari. Pasti dia seperti orang yang terisolasikan dari kehidupan masyarakat luas.

Komunikasi sangat erat kaitannya dengan Bahasa, sebab Bahasa merupakan kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya, baik menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan. Semua orang di dunia berbahasa, atau dengan kata lain kita semua memiliki kemampuan untuk berkomunikasi. Hanya saja cara berkomunikasinya ada yang berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh karena faktor wilayah, maupun budaya. Orang Tuli merupakan contoh yang sempurna dalam memberikan gambaran bahwa komunikasi atau Bahasa yang dipergunakan antara satu orang dengan yang lainnya itu berbeda (dalam hal ini orang dengar).

Orang Tuli menggunakan Bahasa Isyarat

Orang Tuli dalam menyampaikan pesan dari satu pihak ke pihak yang lainnya menggunakan Bahasa Isyarat, sedangkan orang dengar menggunakan Bahasa lisan. Bahasa Isyarat diciptakan untuk mempermudah Orang Tuli dalam menyampaikan pesan, dan memahami pesan yang diberikan oleh orang lain kepada dirinya. Di antara kalangan Orang Tuli yang berada di Indonesia, terdapat dua Bahasa Isyarat yang dipergunakan, yaitu SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia), dan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia). Terbaginya penggunaan Bahasa Isyarat kedalam dua jenis ini menimbulkan kebingungan di antara Orang Tuli.[1]

Dualisme penggunaan Bahasa Isyarat

SIBI secara sederhana diartikan sebagai Bahasa Isyarat yang pembacaannya mengacu pada Bahasa Indonesia lisan. Pembuatan SIBI juga tidak melibatkan Orang-Orang Tuli di dalamnya, melainkan hanya mengubah Bahasa Indonesia lisan menjadi Bahasa Isyarat dan kosa katanya banyak diambil dari Bahasa Isyarat Amerika. Tata bahasa yang digunakan dalam Bahasa Isyarat mengikuti Bahasa Indonesia yang mengandalkan urutan kalimat dan satu isyarat untuk kata-kata berhomonim.[2]

Menurut SIBI, suatu frasa seperti “Apakah kita harus mempertimbangkannya?” dihasilkan dengan Sembilan buah isyarat (lihat contoh (1)). Tetapi dalam BISINDO, frasa yang sama hanya mengunakan empat isyarat dan ekspresi wajah yang mengkomunikasikan statusnya sebagai interogatif (lihat contoh (2)).[3]


1)   APA KAH KITA HARUS MEM PER TIMBANG KAN NYA         (SIBI)

Apakah kita harus mempertimbangkannya?

(2)   _______________________alis mata dinaikan                           (BISINDO)

TUNJUK KITA MEMPERTIMBANGKAN HARUS

Apakah kita harus mempertimbangkannya?


Berdasarkan contoh diatas, dapat dilihat bahwa tata bahasa (grammar) yang dimiliki oleh BISINDO berbeda dengan grammar Bahasa Indonesia. BISINDO bersifat intuitif atau naluriah bagi pemakai BISINDO yang tuli. Sama halnya dengan grammar Bahasa lisan adalah naluriah bagi pembicaranya. Nick Palfreyman dalam tulisannya yang berjudul Budaya Tuli dan Hak Bahasa menyampaikan pendapatnya sebagai berikut.[4]

Grammar SIBI yang mengikuti tata Bahasa Indonesia mudah dipelajari oleh guru dan orang tua yang mendengar tetapi tidak naluriah bagi anak-anak tuli yang belum pernah mendengar Bahasa Indonesia. […] sistem isyarat memakai peraturan morfem-per-morfem yang berurut-urut dan hal ini mengacaukan ‘sign-to-voice ratio’ […]. Hasilnya pemakai sistem isyarat biasanya menghilangkan isyarat untuk morfem yang terikat […]. Karena isu ini dan lainnya, kebanyakan studi mempertanyakan efisiensi sistem isyarat misalnya SIBI.

Contoh diatas juga menunjukan bahwa SIBI menerjemahkan suatu kalimat dengan sangat lengkap termasuk awalan dan akhiran. Contohnya kata perjalanan, dalam SIBI akan diterjemahkan menjadi per-jalan-an. Satu kata dengan 3 gerakan. Namun saat dihubungkan menjadi kalimat “mobil itu sedang dalam perjalanan ke sini”, kata “perjalanan” ini tetap dengan gerakan dua jari yang mengisyaratkan orang berjalan. Sehingga banyak Orang Tuli menangkap bahwa mobil berjalan seperti orang berjalan, bukan dengan menggunakan roda. Sedangkan dalam BISINDO, berjalannya mobil hanya dengan satu kata disertai ekspresi untuk menunjukkan kejadian yang sedang berlangsung.

Perjuangan Orang Tuli untuk mendapatkan pengakuan atas BISINDO

Pada pokoknya, SIBI lebih susah dipahami oleh Orang-Orang Tuli daripada menggunakan BISINDO. Berkaca pada hal tersebut, aktivis Tuli terus memperjuangkan BISINDO untuk dipakai sebagai Bahasa Isyarat yang paten di kalangan Orang Tuli, sebab sebelumnya SIBI dipromosikan peggunaannya dalam pendidikan anak Tuli oleh pemerintah Indonesia melalu kebijakannya.

Pada tahun 2016, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dibentuk oleh Pemerintah Indonesia. Undang-Undang ini dibentuk dengan maksud untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang dianggap sudah tidak sesuai dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.[5]

Dalam UU No. 8 Tahun 2016 tersebut, disebutkan bahwa Penyandang Disabilitas, termasuk Orang Tuli mempunyai hak berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi. Bagi Orang Tuli hak tersebut diwujudkan dengan penggunaan dan memperoleh informasi dan komunikasi berupa Bahasa Isyarat.[6] Untuk mendukung hal tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggaraan pendidikan inklusif dan pendidikan khusus wajib memfasilitasi Orang Tuli untuk mempelajari keterampilan dasar yang dibutuhkan untu kemandirian dan partisipasi penuh dalam menempuh pendidikan dan pengembangan sosial.[7] Keterampilan yang dimaksud ialah Bahasa Isyarat dan pemajuan identitas linguistik dari komunitas Penyandang Disabilitas Rungu. Lebih lanjut dalam Penjelasan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disampaikan bahwa yang dimaksud dengan “Bahasa Isyarat”, termasuk Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa BISINDO telah diakui oleh pemerintah Indonesia.

BISINDO telah diakui. Dualisme Bahasa Isyarat tetap ada

Apakah permasalahannya selesai? Kalau mengenai isu pengakuan BISINDO, dapat dikatakan telah selesai. Namun, untuk permasalahan dualisme Bahasa Isyarat di kalangan Orang Tuli tetap ada. Jika diperhatikan secara jelas, Penjelasan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mempunyai makna bahwa selain BISINDO ada Bahasa Isyarat lainnya yang diakui dalam pendidikan Orang Tuli.  Hal ini disimpulkan dari dicantumkannya kata “termasuk”. Sehingga saya berasumsi, SIBI masih tetap digunakan bahkan akan terus dikembangkan. Konsekuensinya, Orang Tuli masih tetap ada dalam keadaan bimbang untuk menggunakan Bahasa yang mana. Kemudian untuk guru, Bahasa Isyarat mana yang akan dia ajarkan kepada Orang Tuli. Hal-hal ini sangat penting untuk diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia dalam menentukan kebijakannya kedepan yang ada kaitannya dengan Orang Tuli.

Akomodasi SIBI dan BISINDO

Perkembangan yang terjadi sampai dengan saat ini ialah bahwa Pemerintah lewat Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sedang menjembatani dan membantu PKLK (Direktorat Jenderal Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus Direktorat Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia) dan masyarakat yang terkait untuk pengembangan SIBI maupun BISINDO. Badan Bahasa mempunyai fokus kegiatan pada pengembangan dan penelitian, sehingga nantinya dapat melakukan penelitian terhadap kedua sistem Bahasa Isyarat (SIBI dan BISINDO). Output dari penelitian ini diharapkan dapat membuat kamus yang mengakomodasi keduanya, sebab selama ini PKLK sudah membuat kamus SIBI, dan Gerkatin mengembangkan kamus BISINDO. Rencananya, agenda ini akan dimasukan sebagai salah satu topik dalam Kongres Bahasa Indonesia XI Tahun 2018.[8]

Semoga niat baik dari Pemerintah ini dapat berjalan dengan lancar, dan segera terealisasikan.


[1] Rohma Ageng Mursita, “Respon Tuna Rungu terhadap Penggunaan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dalam Komunikasi”, Inklusi, Volume 2, Nomor 2, Juli-Desember 2015, hlm. 222.

[2] Wisesa Wirayuda, “Mengenal Lebih Dekat Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)”, http://www.suarakita.org/2016/04/mengenal-lebih-dekat-bahasa-isyarat-indonesia/, diakses 22 Maret 2018.

[3] Nick Palfreyman, “Budaya Tuli Indonesia dan Hak Bahasa”, Makalah, di sampaikan dalam Seminar Tahunan Linguistik 2015, Universitas Pendidikan Indonesia, 4-5 Juni 2015, hlm. 5.

[4] Ibid.

[5] Lihat konsideran UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

[6] Lihat Pasal 24 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

[7] Lihat Pasal 41 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

[8] Badan Pengambangan dan Pembinaan Bahasa, “Badan Bahasa dan Gerkatin Gelar Seminar Sehari Bahasa Isyarat”, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/seminar-lokakarya/1981/Badan%20Bahasa%20dan%20Gerkatin%20Gelar%20Seminar%20Sehari%20Bahasa%20Isyarat, diakses 24 Maret 2018.


5 responses to “Orang Tuli : Komunikasi dan Permasalahannya”

  1. mfadel Avatar

    Wah ada metode baru ya

    Like

    1. Hendro Luhulima Avatar

      Metode apa Fadel?

      Liked by 1 person

      1. mfadel Avatar

        Tidak bang. SIBI dan BISINDO itu. Ternyata BISINDO pun sepertinya tidak baru (?$

        Liked by 1 person

      2. Hendro Luhulima Avatar

        Ohh.. sudah lama itu Fadel. Cuman aku gak tahu sejak kapan.

        Like

  2. Yurike Avatar
    Yurike

    Informasinya okeee kak 👍

    Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.